Konsumen, di mana pun mereka berada, ingin dimengerti. Hal ini bukan hanya jargon marketing kosong. Pelanggan memang ingin dimengerti, dan bukan sebaliknya. Ini tidak terkecuali untuk konsumen online.
Pelanggan maya yang tidak kasat mata dan tidak bersentuhan langsung dengan kita ini juga punya perasaan. Mereka bukanlah jajaran nama atau bahkan nomor-nomor entri yang masuk ke jaringan database kita saja.
Karena mereka maya, memahami mereka justru menjadi sesuatu yang semakin menarik. Berulang kali saya katakan kepada rekan-rekan yang memiliki toko online, e-commerce itu tidak se-simple yang mereka duga. Memang benar sangat mudah untuk mulai berjualan. Kalau dulu harus punya toko, kini, boleh dikatakan, semudah memiliki BlackBerry saja, sudah bisa berjualan.
Tetapi di balik jual-beli digital ini, banyak dimensi yang ikut terlibat, tanpa kita sadari. Misalnya saja, faktor psikologi (motif untuk berbelanja, seberapa mereka trust terhadap toko online), faktor budaya (dari budaya mana pembeli berasal, faktor yang membentuk budaya seperti suku, agama, dll), demografis (usia, lokasi, jenis kelamin), bahkan teknografi (seberapa aktif penggunaan internet, seberapa familiar terhadap pembelian online).
Pernahkah Anda sebagai pemilik toko online menghabiskan waktu untuk benar-benar mengenal dan memahami pelanggan Anda?
Suatu hari teman saya (yang punya toko online) berkeluh-kesah tentang ada pembeli yang dianggapnya 'reseh'. Ini orang nanya melulu, dari tadi bolak-balik, nanya harga, size, warna, bahkan nanya siapa yang jualan, cewek apa cowok. Demikian kira-kira curhatan teman saya.
Setelah meladeni dengan sabar pertanyaan-pertanyaan yang masuk via BBM yang tercantum di toko online, akhirnya diketahuilah bahwa si pembeli adalah seorang anak SD kelas 5! Serta-merta teman saya bingung, dan menanyakan apakah si anak sudah minta ijin orangtuanya untuk pembelian online?
Salah satu hal yang perlu diketahui para pemilik toko online, karena sifatnya yang buka 'anytime, anywhere', Anda tidak pernah tahu siapa yang akan datang ke toko Anda. Surprise pun sering terjadi, dan setelah agak lama, pemilik toko baru bisa mengumpulkan data dan menganalisa perilaku pembelinya.
Saya juga pernah membaca salah satu berita di Detikinet dimana seorang eksekutif toko online besar mengeluh tentang konsumen Indonesia yang malas baca. Mereka malas membaca aturan main ketika berbelanja. Mereka lebih suka lihat gambar daripada baca.
Pemilik toko mungkin mengira, sudah disediakan keterangan yang demikian lengkap, otomatis berarti pembeli akan membacanya. Nyatanya, perilaku pembeli tidak bisa diprediksi.
Ya. Begitulah konsumen di mana-mana. Mereka malas, mereka manja, mereka tidak mau diatur-atur. Hak mereka untuk tidak mau memiliki kartu kredit misalnya. Hak mereka untuk tidak mau membayar dengan kartu kredit walaupun mereka punya kartu kredit dan walaupun toko online sudah menghabiskan banyak investasi untuk membangun sistem pembayaran online yang aman. Hak mereka untuk banyak bertanya sebelum membeli. Semua tergantung seberapa kuat dan sabarnya Anda sebagai pemilik bisnis.
Ya, mereka hanya ingin dimengerti. Bukan sebaliknya. Sudah berapa banyak usaha yang kita lakukan untuk memahami mereka? Di luar negeri, sudah banyak penelitian dan biaya riset dicurahkan untuk memahami perilaku online buying. Di Indonesia? Masih sangat sedikit.
Setiap negara mempunyai keunikan masing-masing. Pada tahun 2003 ketika sistem perbankan di China belum tersentralisasi, pertumbuhan e-commerce menjadi terhambat. Tetapi jual-beli online menemukan jalannya sendiri melalui cash on delivery (bayar di tempat setelah barang tiba). Pembeli China juga mempunyai keunikan yaitu suka berkonsultasi dengan penjual melalui instant messenger.
Bagaimana dengan di Indonesia? Menurut saya, di Tanah Air kita tercinta ini, e-commerce berjalan, bergulir, sedang berkembang pesat, dengan caranya sendiri, yang unik Indonesia.
Anda cukup datang ke gerai-gerai kurir seperti JNE untuk merasakan detak pertumbuhan e-commerce. Anda cukup bergaul dengan anak-anak muda sekarang yang aktif berjualan melalui BBM. Dengan sistem dropship, para penjual bahkan tidak perlu memiliki barang. Inilah setidaknya sedikit gambaran mengenai e-commerce yang sedang terjadi di Indonesia.
Dan pernahkah Anda berpikir, mengapa Tokobagus.com terpilih menjadi situs e-commerce terbaik (Top Brand Award) belum lama ini?
Padahal apabila Anda mengunjungi Tokobagus, tidak ada satu pun tombol buy/Add to Cart di sisi produk yang kita minati. Artinya, kita tidak bisa bertransaksi langsung (membeli online) barang yang kita minati tersebut, tetapi kita dapat menghubungi penjualnya (inilah uniknya model bisnis Tokobagus). Bukan bermaksud berpromosi, saya mengambil contoh Tokobagus untuk menggambarkan justru keunikan e-commerce Indonesia.
Dan hanya mereka yang paham perilaku pasar Indonesia yang unik inilah yang akan memenangkan persaingan dan meraup untung dari besarnya jumlah pengguna internet Indonesia yang saat ini lebih dari 50 juta orang.
Karena konsumen, ingin dimengerti.
Sumber : detik
No comments:
Post a Comment