The Fall of Service Excellence

Beberapa minggu yang lalu saya melakukan perjalanan bisnis ke Surabaya. Ketika akan kembali ke Jakarta, suasana bandar udara Juanda Surabaya sangatlah padat. Maklum karena semua penumpang penerbangan Malang-Jakarta dialihkan ke bandara ini akibat kerusakan landasan pacu di lanud Abdulrahman Saleh, Malang. Karena suasana yang kurang nyaman dan waktu tunggu yang masih cukup lama, saya putuskan untuk menunggu di executive lounge. Dengan antrian yang teratur, petugas airport lounge melayani saya dan penumpang lain dengan cukup ramah.

Kemudian saya segera mengambil tempat duduk yang nyaman sambil menikmati hidangan dan minuman yang ada sambil menyalakan laptop dan berselancar di internet dengan fasilitas wifi gratis yang memang disediakan untuk pengunjung. Wah inilah service excellence, gumam saya dalam hati. Namun demikian tidak ada sesuatu yang mengesankan saya dalam hal ini. Fasilitas dan kenyamanan yang sama juga saya rasakan secara sama persis ketika saya masuk beberapa executive lounge di beberapa bandara di kota yang lain, termasuk di Jakarta bahkan di negera lain seperti di Singapura.

Di sela-sela berselancar di internet, saya juga menyempatkan diri ngobrol dengan orang di sebelah saya yang kebetulan tertarik membicarakan pelayanan sebuah bank. Dia menceritakan baru saja menutup rekeningnya di sebuah bank padahal dia merasakan bahwa bank tersebut sudah memberikan pelayanan yang cukup baik secara konsisten kepada semua nasabah termasuk dirinya. Alasannya sama yaitu karena dia tidak merasakan adanya kesan dan rasa kedekatan yang bersifat personal antara bank dan nasabah.

Apabila semua pelaku bisnis memberikan pelayanan yang prima kepada para pelanggannya atau yang sering disebut dengan “service excellence” maka hal yang dilakukan tersebut sudah menjadi hal yang biasa. Hal ini tidak akan menjadi sesuatu yang istimewa lagi bagi pelanggan. Dalam teori need hierarchy, pencapaian ini disebut sebagai basic performance, yaitu sesuatu yang disukai oleh pelanggan namun hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang sudah sewajarnya diberikan. Diberikannya layanan ini kepada pelanggan tidak membuat mereka menjadi terkesan sehingga mampu menimbulkan suatu ikatan emosional dan loyalitas yang tinggi kepada perusahaan.

Dalam konsep service excellence, performa pelayanan didasarkan pada kinerja pelayanan yang ditetapkan berdasarkan standar tertentu dari perusahaan atau company oriented. Dalam hal ini perusahaan cenderung tidak mempedulikan kebutuhan pelanggan yang berbeda-beda terhadap aspek pelayanan yang dibutuhkan. Hal ini sangat berimplikasi pada biaya pengelolaan pelayanan yang tinggi namun belum tentu memberikan return sesuai harapan.


Secara matematis, service excellence score dapat dihitung dengan menggunakan persamaan matematis sebagai berikut:

SE = (R+A+T+E+R)/CE dimana,

SE : Service Excellence Score

R : Reliability, yaitu keandalan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan

A : Assurance, yaitu kemampuan sumber daya perusahaan untuk menjamin kualitas pelayanan yang terpercaya

T : Tangible, yaitu kualitas pelayanan dari aspek fisik

E : Empathy, memberikan perhatian yang cukup kepada pelanggan

R : Responsiveness, yaitu sikap responsif dalam membantu dan menyelesaikan kebutuhan nasabah dengan cepat

CE : Customer expectation, harapan pelanggan.

Dengan demikian service excellence lebih memfokuskan pada kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan dengan kualitas yang konsisten dari waktu ke waktu sesuai dengan standar pelayanan yang dijanjikan kepada pelanggan.

Mengingat pelanggan selalu berubah seiring dengan perubahan lingkungan yang begitu cepat maka pelayanan harus lebih bersifat horizontal dan akomodatif terhadap perubahan sikap, perilaku, dan kebiasaan pelanggan.

Sebagai pengganti dari service excellence, konsep pelayanan yang lebih horizontal dan customer oriented adalah caring excellence. Dalam caring excellence, pemberian pelayanan kepada pelanggan tidak boleh terjebak pada sekedar memenuhi keinginan perusahaan melayani pelanggan sesuai dengan standarnya atau inside-out. Sebaliknya bagaimana melayani pelanggan sesuai kebutuhannya atau melihat outside-in terlebih dahulu jauh lebih penting.

Secara matematis, caring excellence score dapat dihitung dengan menggunakan persamaan matematis sebagai berikut:

CE = (C+I+T+A+P)/SE dimana,

CE : Caring Excellence Score

C : Credibility, yaitu kredibilitas perusahaan akan kualitas pelayanannya

I : Intimacy, yaitu hubungan personal yang dibangun untuk kelangsungan ikatan dalam jangka panjang

T : Trusted, yaitu pelayanan untuk menumbuhkan kepercayaan pelanggan

A : Accessability, memberikan kemudahan akses pada fasilitas pelayanan

P : Proactive, yaitu secara proaktif mengambil inisiatif untuk membantu pelanggan sesuai dengan kebutuhan

SE : Self orientation, yaitu perspektif, kebiasaan, perilaku, dan harapan pelanggan.

Ada lima hal penting yang membedakan caring excellence dengan service excellence yaitu:

Pertama “kredibilitas” sebuah pelayanan lebih berarti bagi pelanggan ketimbang “reliabilitas” yang belum tentu sesuai dengan kebutuhannya.

Kedua “layanan terpercaya” lebih diharapkan oleh pelanggan dibandingkan dengan janji akan “jaminan” kualitas layanan berdasarkan definisi perusahaan semata.

Ketiga “customer intimacy” dijalankan untuk membina ikatan personal yang kuat dengan pelanggan dalam jangka panjang dan bukan sekedar sikap “empati” atau perhatian semu yang dilakukan di depan meja frontliner saja.

Keempat, “fasilitas fisik” harus didukung dengan “kemudahan akses” untuk menjangkau fasilitas dan benefit perusahaan.

Kelima, “sikap proaktif” sangat diperlukan agar timbul hubungan timbal balik antara perusahaan dan pelanggannya yang dapat menciptakan sustainability dalam jangka panjang.

Sumber : the-marketeers

No comments:

Post a Comment